
Penulis : Gilang Adhi Prabowo (mahasiswa S1 KESMAS)
Robert Budi Hartono bersama kakaknya Michael Bambang Hartono adalah orang yang sangat beruntung. Robert duduk menjadi orang terkaya pertama di Indonesia. Majalah Forbes pada tahun 2014 mencatat dirinya masuk dalam lapisan orang terkaya ke-146 di dunia. Bisnis utamanya adalah rokok. Dikenal sebagai pemilik Djarum. Karena kekayaannya yang melambung, dirinya ikut menguasai 51% saham BCA, kelapa sawit di Kalimantan Barat, mempunyai Grand Indonesia hingga perusahaan elektronik Polytron. Kesukaannya akan bulu tangkis mendorongnya untuk mendirikan Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum yang kelak akan melahirkan generasi emas bulu tangkis seperti “King Smash” : Liem Swie King. Konon perusahaan Djarum melebarkan sayap ke Amerika dengan total produksi mencapai 48 miliar batang per tahun. Tak main-main total harta kekayaan mereka mencapai US$ 16,5 miliar (Rp 231 triliun dengan asumsi Rp 14.000/dolar). Tak heran ada 60.000 karyawan bekerja disana.
Urutan kedua terkaya dipegang oleh Susilo Wonowidjojo, pemilik Gudang Garam dengan total kekayaan mencapai US$ 8 Miliar (Rp 112 triliun dengan asumsi Rp 14.000/dolar). Kenaikan cukai rokok dianggap sebagai penyebabnya. Pemerintah memang mengandalkan hasil dari cukai bahkan 95% pendapatan bersih berasal dari sana. Singkatnya pemerintah memang masih mengandalkan industri rokok dalam perolehan pendapatan negara. Pada sisi perusahaan rokok mempengaruhi pemerintah, karena pendapatan yang diperolehnya.
Sudah barang tentu industri rokok punya pengaruh yang luar biasa. Tak ada kegiatan apapun yang tidak disusupi iklan rokok di dalamnya. Terutama kalau kegiatan itu sasarannya adalah anak muda. Sudah sejak era 1980-an ada event Djarum Rock Festival lalu Class Music dan yang baru A Mild Rising Stars. Pada bidang olahraga muncul Liga Djarum Indonesia dan Copa Dji Sam Soe yang berurusan dengan sepakbola. Ini belum terhitung dengan perhelatan di ajang bulutangkis baik level nasional maupun internasional. Sejauh ini efek dramatik yang bisa didapatkan adalah meningkatnya perokok dikalangan usia muda. Rokok seperti sebuah produk yang melekat dalam benak pikiran publik. Tak hanya itu juga muncul argumen “intelektual” mengenai imperialisme rokok putih yang hendak menghantam rokok cengkeh. Dasar argumentasinya dibangun dengan meyakinkan; dimana rokok memang telah mempunyai sejarah tersendiri yang bahkan mampu ‘menyehatkan’ warga. Tuduhan dialamatkan pada industri tembakau Barat yang dianggap bisa menjajah petani dalam negeri. Seakan-akan kampanye anti rokok hanya jadi ‘kendaraan’ kepentingan imperialisme global. Singkatnya upaya untuk melindungi para perokok kini juga telah melibatkan alasan nasionalisme. Rokok seakan-akan telah menyatu padu dengan kedaulatan bangsa. Rokok seperti identitas kebangsaan dan kenegaraan yang mutlak harus dipertahankan eksistensinya.
Ditambah lagi dengan data sumbangan rokok bagi pendapatan negara sangatlah fantastis. Tahun ini saja target cukai rokok mencapai Rp 142,7 triliun atau sekitar 80% dari pendapatan bea dan cukai RAPBN 2015, yakni Rp 177,5 triliun atau 8 % dari total penerimaan negara Rp 1.762,3 triliun. Satu contoh saja, setoran Sampoerna dan Philip Morris untuk pajak tahun lalu sebesar Rp 52 triliun, naik dari sebelumnya Rp 47,6 triliun. Tak heran dengan pasokan sebesar itu RUU Pengendalian Tembakau dikalahkan oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan yang dianggap sangat pro terhadap industri rokok. Kini RUU ini malah sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Lewat perantaraan pendapatan sebesar itu maka industri rokok mampu melakukan apa saja, termasuk melakukan perlawanan atas kampanye anti rokok. Diantaranya dengan memberitahu bagaimana sejarah pendirian rokok yang ditopang oleh orang-orang lugu yang berniat baik dan pekerja keras. Didasarkan atas data sejarah yang memang dilahirkan oleh para pendukung rokok maka diciptakanlah kisah agung mengenai peranan rakyat, dibesarkan oleh kegigihan mereka bekerja dan dibesarkan pula karena semangat nasionalistis. Ironis.
Bangunan logika inilah yang juga menjadi bahan utama untuk ‘mempertahankan’ perusahaan rokok. Padahal logika ini sangat abai terhadap pengaruh yang ditimbulkan jika industri rokok tidak dibatasi. Secara umum ancaman kesehatan kerap kali jadi perisai untuk melawan ekspansi perusahaan rokok. Advokasi untuk hal ini mencapai pada derajat yang mengejutkan: bungkus rokok diberi sampul mengerikan, keluar banyak aturan larangan merokok di kawasan publik, perda mengenai kawasan bebas rokok muncul di mana-mana, di banyak kampus banyak terpampang pengumuman larangan merokok hingga yang paling mutakhir adalah cukai rokok yang terus dinaikkan. Pukulan demi pukulan itu bukannya tidak berdampak. Kegiatan merokok secara umum tidak lagi sebebas yang dulu. Terutama di kawasan publik, merokok jadi kegiatan yang ‘diasingkan’. Malah upaya untuk membela rokok dengan melibatkan LSM ‘kaget’ jadi bukti betapa perusahaan rokok memerlukan amunisi tambahan dan baru untuk tetap meyakinkan operasinya. Ruang pertarungan kini memang melebar ke segala sudut dengan melibatkan banyak aspek dan figur. Disebabkan oleh akumulasi laba yang telah ditumpuk, maka perusahaan rokok kini harus berhadapan dengan kekuatan ‘wacana’. Pertaruhannya seolah kampanye anti rokok adalah kepentingan asing yang berniat membekuk usaha rakyat.
Sekarang pertanyaannya adalah benarkah rokok merupakan produksi rakyat? Mari sejenak menjenguk ke kawasan-kawasan di mana perusahaan rokok memiliki mitra para petani cengkeh. Kawasan Temanggung, Karangjati hingga Pati kini berhadapan dengan sistem kemitraan yang lebih banyak mencekik hasil petani dan tidak memberi kepastian pada buruh. Melalui mekanisme gudang di perusahaan rokok mereka menjamin pasokan sekaligus arus transportasi pasokan. Bahkan gudang tidak perlu dimiliki sendiri, cukup dengan sewa. Jadi risiko apapun yang terjadi di kebun tidak berdampak pada pabrik rokok. Terlebih kualitas tembakau dimonopoli sepenuhnya oleh industri rokok. Secara sederhana kekuatan raksasa industri rokok bertahan dengan penguasaan jalur pasokan hingga distribusi. Itu sebabnya produksi miliaran per batang dengan gampang saja dijalankan oleh pabrik. Secara kasar saja produksi rokok sampai 2015 menurut Kementrian Perindustrian diperkirakan mencapai angka 260 milyar batang/tahun. Jika harga per batang saja Rp 500,- maka omzet pabrik bisa mencapai Rp 130 triliun. Harusnya jika itu disebut sebagai sandaran ekonomi rakyat, pastilah rakyat kecil merasakan efeknya. Simak saja bagaimana kemiskinan selalu melanda seputaran pabrik rokok.
Kudus adalah kota di mana Djarum berkuasa. Sosok terkaya se-Indonesia itu ternyata banyak punya tetangga miskin. Di Kudus penerima beras miskin mencapai angka 36 ribu orang. Orang miskin itu sering dapat bantuan dana pemerintah, yang di sana dinamai dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Sebut saja sebuah Kecamatan Dawe di mana ada sekitar 2000-an keluarga sangat miskin (KSM) dari total warganya yang mencapai 5500-an orang. Jika merujuk pada dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLLSM) di Kabupaten Kudus mencapai angka 36.332 jiwa. Tidak hanya Kudus, kita tengok juga Kediri di mana Gudang Garam berdiri dengan gagahnya. Pabrik ini ternyata punya tetangga miskin yang jumlahnya terus naik. Melalui data jaminan kesehatan masyarakat yang disetor dari pemerintah pusat, ternyata ada lonjakan orang miskin hingga lebih dari 200 ribu jiwa. Pada tahun 2012 angkanya sebesar 357.829 jiwa lalu di 2013 meningkat menjadi 564.474 jiwa. Padahal di kedua kota ini pabrik rokok berdiri dengan peredaran iklan di segala sudut. Bukti di atas menunjukkan bahwa ‘jasa ekonomi’ pabrik rokok bagi lingkungan sekitar tidak seperti yang ada pada bahan kampanye. Hal serupa juga dialami oleh buruh rokok yang rentan posisinya; PHK massal hingga minimnya jaminan. Kasus yang barusan terjadi berlangsung di PT Gudang Garam di mana modus PHK buruh ditengarai melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Putusan MK no. 19 Tahun 2011. Belum lagi meski sudah puluhan tahun berdiri perusahaan rokok tetap menggunakan pola outsourcing yang menyebabkan buruh tidak punya hak kepastian atas pekerjaanya sendiri. Bahkan menurut Said Iqbal, Ketua KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) outsourcing itu mencapai angka 80% atau setara dengan 6,1 juta orang. Kebanyakan mereka ini sayangnya adalah perempuan.
Maka dalam suasana kekuasaan seperti itulah rokok tampil seperti oligarki. Kekuasaannya membentuk struktur timpang karena pendapatan yang didapat perusahaan sesungguhnya berasal dari perolehan penjualan yang sepenuhnya ‘dilindungi’. Dinamakan oligarki karena perusahaan rokok telah membangun sebuah sistem relasi di mana memungkinkan terpusatnya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya. Membayangkan saja bagaimana kekayaan itu menggunung sudah pasti perusahaan memiliki kekuasaan politik-birokratis; diimplementasikan dalam berbagai bentuk pengaruh. Maka wajar jika di kemudian hari pabrik rokok memiliki perisai politik yang kuat di mana relasi diciptakan mengikuti budaya politik patron. Terlebih jika mereka sanggup mengongkosi semua biaya-biaya politik yang jadi sumber pemanfaatan semua aktivitas para pejabat. Mana mungkin pabrik rokok tidak menjalin hubungan dengan kekuatan politik sedangkan mereka dengan leluasa diberi akses untuk melakukan penyelenggaraan apa saja. Bisa dikatakan sebenarnya pabrik rokok besar itu telah membangun dasar pondasi kapitalis domestik yang kini pengaruhnya menyebar di mana-mana. Hanya saja kali ini mereka berhadapan dengan krisis kepercayaan sejumlah kalangan yang mempertanyakan ‘akurasi dan ancaman produk mereka’. Pabrik rokok kemudian berhadapan dengan pertanyaan dasar yang muncul dari berbagai kalangan tentang legitimasi komoditas mereka. Apa benar jika kekayaan atas hasil kerja keras itu melampaui rasa keadilan publik maka mereka tidak patut untuk dibatasi operasinya? Sebab kita semua tahu bahwa akumulasi kekayaan itu kian berbahaya arena akses pengaruh yang ditimbulkannya pasti amat besar.
Penting untuk didekati dengan perspektif di atas mengingat laba industri rokok tidaklah kecil. Melalui kekayaan yang dimiliki secara fantastis, perusahaan rokok telah mengancam bukan hanya kesehatan melainkan juga keadilan ekonomi publik. Tak banyak dari kita yang sadar betapa kapital mereka yang menggurita itu telah mampu membeli pengaruh apa saja; ruang publik dijajah dengan iklan, kegiatan kebudayaan didanai oleh hasil mereka hingga pendidikan dijajah oleh ‘kedermawanan’ mereka. Sumber daya kekuatan material yang digunakan untuk kegiatan yang harusnya disandarkan pada pemerintah, telah membuat perusahaan rokok jadi pahlawan. Legenda diciptakan untuk memberi identitas bahwa perusahaan rokok sebenarnya telah memberi banyak jasa sosial yang luar biasa dari keuntungan yang didapat. Hingga tidak ada pertanyaan dasar: bagaimana distribusi kekayaan itu berlangsung di sekitarnya? Bagaimana perusahaan itu mencemari pemandangan bahkan akal sehat dengan iklan-iklan yang sebenarnya dibiayai dari pendapatan rakyat sendiri? Selama periode pasca reformasi tampaknya perusahaan rokok mendapat banyak ‘proteksi’ dalam menggunakan sarana publik untuk kepentingan penjualan mereka. Tapi beruntung kini perlawanan atas perusahaan rokok dengan alasan kesehatan mulai terbit di mana-mana. Sejauh ini perlawanan itu memiliki dampak meski masih jauh dari kata signifikan.
Itu artinya kita memerlukan gerakan yang lebih tertata. Rokok sangat mengandalkan pada kepercayaan atas konsumsi. Bordieu mengatakan, konsumsi adalah pertarungan kelas. Pertarungan ini menentukan siapa yang dianggap memiliki selera ‘tinggi’ dan mana yang dianggap berselera kebanyakan. Hal ini yang membuat jenis dan cara konsumsi membentuk identitas. Yang kurang selama ini adalah ‘identitas’ orang yang tak merokok. Pada iklan rokok identitas para perokok selalu sama: muda, cakap, menyukai tantangan, petualangan dan elit. Bertolak belakang dengan kampanye anti rokok yang menampilkan wajah ‘rakyat’ yang sedang meniupkan asap. Kentara sekali bahwa iklan rokok menjanjikan harapan sedangkan postur anti rokok menggambarkan seperti orang miskin: buruk, bodoh dan ketinggalan. Pesannya jadi seperti berbalik : yang miskin akan mati karena rokok sedang yang kaya bisa bertahan karena memenuhi harapan rokok. Karena konsumsi adalah tindakan simbolis maka pertanda ‘modernitas’ seharusnya ada pada diri orang yang tidak merokok. Citra mereka yang tidak merokok perlu identik dengan kemudaan, pintar dan berpengaruh. Proyek lifestyling pada orang yang tidak merokok belum banyak muncul dalam kampanye anti rokok. Simbol-simbol anti rokok tampaknya harus dibuat untuk menciptakan penanda yang menjadi beda. Terlebih lagi kalau melihat riset-riset mutakhir menunjukkan bagaimana kecenderungan konsumsi di Indonesia selalu mengejar hal yang ada unsur kebaruan. Tindakan anti rokok menyimpan unsur kebaruan itu.
Unsur kebaruan itu kini diterangkan melalui ancaman kesehatan. Di samping penjelasan mengenai kesehatan perlu diproduksi suatu pengetahuan mengenai buasnya imperium rokok. Praktik iklan yang menyasar anak-anak muda, yang populasinya terus meningkat tiap tahun, akan mencekik generasi dengan cara keji. Tak saja anak-anak muda itu dilatih untuk kecanduan tetapi mengabaikan fakta eksploitasi akal sehat. Penting untuk ditanamkan kepercayaan bahwa uang untuk membeli rokok hanya akan memperbesar pundi-pundi para pemilik perusahaan, bukan buruh apalagi petaninya. Maka sugesti untuk ‘pemberontakkan’ penting dicangkokkan pada anak-anak muda ini. Bahwasanya menolak rokok merupakan ‘pemberontakan’ atas apa saja yang terkait pada akumulasi laba dan praktik diskriminasi kelas. Itu sebabnya unsur kesehatan harus diramu dengan bagaimana mengembangkan pola dan gaya hidup yang sehat, terdidik dan kelihatan lebih keren. Disini unsur identitas jadi penguat sempurna bagi kampanye anti rokok yang selama ini harus berhadap-hadapan dengan identitas para perokok. Maka ada baiknya ‘unsur kreativitas’ pada kampanye anti rokok perlu dikembangkan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya elemen. Terutama jika dikaitkan dengan unsur stratifikasi material yang jadi imbas dari kekayaan berlimpah para pemilik pabrik rokok.
Maka dalam suasana politik yang lebih demokratis dan terbuka seperti sekarang ini, usaha melawan praktik merokok ini tidak bisa didasarkan hanya pada satu dalil kesehatan semata. Sebab pada kenyataannya para perokok usia muda terus meningkat populasinya. Belum lagi pengaruh material para pemilik usaha rokok dalam melakukan lobi politik juga tidak bisa dihindari. Kini dibutuhkan penjelasan yang menarik dan mudah dimengerti tentang bahaya bisnis rokok. Buruh-buruh yang bekerja di pabrik rokok penting untuk diajak membangun serikat kerja yang dapat melindungi dan menjamin haknya. Didasarkan atas laba yang terus menerus naik, maka pabrik rokok dituntut untuk memenuhi standar kerja yang layak. Juga para petani cengkeh yang selama ini beranggapan bahwa kampanye anti rokok akan mematikan usaha mereka bahkan lebih jauh lagi akan menjajah mereka. Argumentasi nasionalistis yang konyol perlu dilawan dengan memberitahu ketimpangan pendapatan yang ada selama ini. Dasar-dasar akumulasi dari praktik bisnis perusahaan rokok ini mendesak untuk jadi bahan kampanye perlawanan pada industri rokok. Itu sebabnya metode untuk melahirkan banyak aturan pembatasan penting untuk terus-menerus dilakukan. Sebab bukan hal mustahil akan ada konflik kepentingan yang mudah muncul jika pasar kemudian menjadi arena yang bebas.
Pada akhirnya dibutuhkan kerangka besar advokasi untuk melawan imperium perusahaan rokok. Setidaknya ini berangkat dari tujuan sederhana untuk menaklukkan dominasi perusahaan rokok yang masih menggurita. Untuk mencapai tujuan inilah maka penciptaan tata aturan baru perlu dibangun guna memastikan bahwa eksistensi perusahaan rokok harus bisa mempertanggung jawabkan produknya yang membawa celaka sekaligus para pekerja di dalamnya harus diberi akses untuk mengetahui jaminan-jaminan yang wajib diperolehnya sebagai tenaga kerja. Konsumen tak lagi bisa ditipu dengan cara naïf, karenanya dibutuhkan perlawanan-perlawanan yang besar untuk memastikan bahwa jaminan atas hak hidup sehat, standar lingkungan yang bersih dan pemerataan ekonomi merupakan tujuan utama gerakan melawan kebiasaan merokok. Tanpa didasarkan pada hal itu kita hanya akan membentur tembok raksasa yang bernama akumulasi.